3 Desember 2010

Wayang dan Identitas Sosial Masyarakat Jawa

Oleh Yogi Suryana

Wayang sebagai seni pertunjukan tradisional sudah menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat Jawa. Mereka mengungkapkan, memantapkan, dan merealisasikan identitasnya di seni pertunjukan Wayang.

Seni pertunjukan Wayang merupakan perekam lisan atau pengungkap narasi perkembangan budaya suatu bangsa. Sebagaimana perkembangan seni pertunjukan itu sendiri yang lahir dari perkembangan sosial budaya sejak jaman kerajaan Hindu – Budha di tanah Jawa. Persentuhan sosial itu menghasilkan kebudayaan berbentuk fisik. Seni pertunjukan itu salah satunya.

Menurut Eric Bentley, karya seni di dalam seni pertunjukan merupakan representatif dari cerita atau kisah-kisah masa lalu, saat ini, atau narasi fiktif yang dibuat oleh seniman. Seni pertunjukan akan menjadi penting dan bermakna jika memuat nilai-nilai sosial, agama, bahkan politik.

Seni pertunjukan Wayang tidak luput dari proses pemaknaan sosial. Wayang sudah digunakan sebagai media pengungkap nilai-nilai. Sunan Kali Jaga menggunakan Wayang untuk menyebarkan agama Islam. Saat itu, masyarakat Jawa mulai jenuh dengan ceramah-ceramah keagamaan yang semakin konservatif. Tetapi, dengan menggunakan pertunjukkan wayang kulit masyarakat dapat lebih mudah mencerna makna atau tujuan yang dimaksud di dalam pertunjukan. Hingga saat ini, metode itu masih dilakukan turun-temurun.

Posisi strategis seni pertunjukan Wayang seperti yang dilakukan Sunan Kali Jaga berada pada pengisi kebudayaan yang berisi pengetahuan-pengetahuan bersifat transformatif. Artinya, melalui kebudayaan, Wayang dapat menjadi faktor pendorong di dalam perubahan sosial. Sekaligus, pembangunan identitas sosial. Oleh karena itu, identitas sosial masyarakat Jawa dapat terungkap di dalam seni pertunjukan Wayang.

Fungsi Sosial-Politik pada Wayang
Wayang dalam bahasa Jawa mempunyai arti sebagai bayangan. Wayang memiliki kata dasar ”yang”. Kata itu bervariasi dengan kata yung-yong. Atau dalam bahasa melayunya ”bayang-bayang”. Kata ”yang” bila bervariasi dengan kata yung atau yong terdapat dalam kata layang-layang ”terbang”, doyong – ”miring”, tidak stabil – ”royong”, selalu bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, dan poyangan-payingan, ”berjalan sempoyongan, tidak tenang ”.

Sedangkan dalam bahasa Jawa kuno, awalan ”wa” dalam kata Wayang memilki fungsi sebagai tata bahasa. Seperti terdapat pada kata wahiri yang berarti ”iri hati, cemburu”, sejajar dengan kata bahiri dalam bahasa Jawa. Jadi, secara utuh kata Wayang mempunyai arti, ”berjalan ke sana ke sini, tidak tetap” atau secara harfiah Wayang merupakan pertunjukan boneka yang di dalam pertunjukannya, penikmat hanya melihat bayangan dari pertunjukan itu (baca: Wayang). Maka, dalam tradisi orang Jawa, pertunjukan Wayang bukan hanya melihat media Wayang saja, melainkan masalah yang tersirat dalam lakon atau tokoh Wayang itu.

Hal itu sejenis dengan perumpamaan ketika orang melihat bayangannya (refleksi), orang melihat bukan tebal atau jenisnya cermin. Oleh karena itu, penonton melihat pertunjukan Wayang bukan melihat Wayang, tetapi melihat bayangan (lakon atau tokoh) dirinya sendiri dan situasi masyarakat.

Masyarakat Jawa gemar beridentifikasi dengan tokoh-tokoh Wayang tertentu dan bercermin dan mencontoh padanya di kehidupan sehari-hari. Wajar apabila banyak keluarga Jawa yang memberi nama buat anak-anaknya mengambil dari nama tokoh-tokoh pewayangan, seperti Permadi, Bima, Wibisana untuk laki-laki. Sedangkan untuk anak perempuan, seperti Larasati, Pertiwi dan Uteri.

Pertunjukkan Wayang mampu menyajikan, meditasi pendidikan, pengetahuan, kritik sosial dan hiburan. Tetapi juga menyediakan fantasi untuk nyanyian, lukisan estetis dan menyajikan imajinasi puitis dan petuah-petuah religius yang mampu mempesona dan menggetarkan jiwa tiap individu yang menontonnya. Sehingga, mereka mampu mempraktekan di dalam kehidupan yang nyata dan bisa membangun pada dirinya masing-masing.

Selain itu, seni pertunjukan Wayang merupakan salah satu cermin kehidupan manusia. Perwatakan manusia yang berbeda-beda digambarkan oleh Wayang baik yang sedang dijejer, maupun dikotak. Itulah mengapa betapa pentingnya Wayang di dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Awal mula, pertunjukan Wayang berfungsi sebagai sajian ritual upacara-upacara kebudayaan dan sosial yang sakral, seperti ruwatan dan syiar agama, meski pun akhirnya muncul inovasi dan pembaruan bentuk, konsep dan fungsi pada wayang dari sebelumnya.

Tempus mutantur, et nos mutamur in illid. Waktu berubah dan kita (ikut) berubah juga di dalamnya. Demikian papatah latin kuno, waktu berubah dan cara-cara manusia mengekspresikan dirinya, menelusuri jejak pencarian makna tentang siapa dirinya, orang lain, dan dirinya bersama orang lain (masyarakat) juga berubah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perubahan tidak pernah berakhir sepanjang kehidupan manusia. Masyarakat selalu berproses dan beradaptasi dengan kondisi perubahan wilayah, bahkan tidak jarang menghadapi fase pengulangan sejarah.

Seiring bergesernya waktu dan kondisi sosial-politik di Indonesia pada 1920an, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan gerakan massa yang besar. Gerakan itu mempengaruhi perkembangan sastra dan seni di Indonesia di tengah massa rakyat. Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan yang digarap Lembaga Kebudayaan Rakyat – satu ideologi dengan PKI – dengan basis budaya revolusioner. Wayang saat itu menjadi media propaganda, sebagaimana pengunaan wayang oleh Sunan Kali Jaga.

Nilai yang dikandung di dalam seni pertunjukan Wayang saat itu berisi kritik sosial dan politik. Pun, menanamkan kecintaan yang besar terhadap kemerdekaan tanah air. Terlihat jelas di sini, Wayang dijadikan media transformasi nilai-nilai tertentu kepada masyarakat.

Ketika Presiden Soeharto berkuasa, nilai-nilai Pancasila disebarluaskan menggunakan media Wayang dan macapat (1). Hal itu ditunjukan dengan lahirnya lakon Wayang yang berjudul Semar Babar Jatidiri (Jawa)/Sang Hyang Wiragajati (Sunda), merupakan wujud dari sebuah kepentingan ideologi politik yang tertuang di dalam Wayang.

Sedangkan di era reformasi, Wayang menjadi media untuk berkampanye, melegitimasi, dan menyampaikan pesan-pesan partai politik tertentu. Misalnya, dalam rangka ulang tahun “Partai Amanat Nasional” (PAN), Ki Joko Hadiwijoyo (Joko Edan) dari Semarang menampilkan lakon Wayang yang berorientasi pada keagungan matahari. “Partai Amanat Nasional” bersimbolkan matahari. Melalui penampilan tema lakon wahyu (anugerah Illahi) itu diharapan dapat memberikan pengaruh kepada partai dan khalayak luas. Pesan yang ingin disampaikan, semoga Indonesia dengan kepemimpinan PAN dapat menuju masyarakat yang tentram, damai, sejahtera berkat matahari yang memberikan penerangan seluruh masyarakat Indonesia.

Kelas Ningrat Pewayangan: Wayang Wong
Wayang semula memang bersumber pada tingkah laku manusia. Perkembangannya, Wayang mendapat sentuhan estetis dari tari Jawa yang kemudian hari menjadi Wayang Wong atau Wayang Orang.

Sachs di dalam Soedarsono mengutarakan hubungan tari Jawa dengan Wayang Kulit:
Tari Jawa memiliki hubungan yang erat dengan pewayangan yang bersemai di lingkungan keluarga sultan (yogyakarta) telah mengalami puncak perkembangannya. Hanya waktu tari tersebut mulai tersebar di luar tembok istana, mutunya mulai merosot

Namun, karena drama tari berdialog prosa dilakukan oleh manusia, seniman-seniman Istana memikirkan agar tari jawa menjadi begitu ekspresif. Maka, Wayang Wong adalah penjewantahannya.

Selain itu, Walter Sorell (2), seorang penulis dan kritikus tari dari Amerika mengatakan kesenian timur secara tradisional merupakan sebuah pengalaman keagamaan, Maka, hidup sebagai satu bagian yang integral dari kehidupan manusia. Meskipun dalam seni timur dewasa ini agama tidak memegang peranan penting lagi, namun seni tari memiliki fungsi sebagai sarana untuk memperdalam komunikasi manusia dengan jagad rayanya.

Tari timur yang ekspresif itu juga bersifat reflektif. Ia merupakan totalitas dalam dunia yang stabil yang menerima konflik sebagai dasar dari segala pengalaman manusia. Lebih lanjut lagi menurut Sorrell, bagi orang jawa, tari merupakan seni yang serius.

Memang benar apa yang telah diungkapkan Sorrel di atas, Wayang Wong dahulu merupakan seni yang serius. Di dalam perkembangannya pernah menjadi sebuah drama tari yang paling terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Bukan itu saja, Wayang Wong berdasarkan data-data historis memang benar-benar pernah merupakan bentuk teater yang sangat sempurna. Justru Wayang Wong di Istana Yogyakarta sebelum perang ke II merupakan bentuk teater yang sangat komplit. Biaya produksinya menjadi sangat mahal.

Sultan Hamengku Buwana VIII yang memerintah dari 1921-1939 yang terkenal sebagai pecinta Wayang Wong, hanya mampu menyelenggarakan Wayang Wong ini setahun atau dua tahun selama dua atau tiga hari sekali karena biayanya sangat mahal. Jumlah penari yang terlibat di dalam satu produksi bisa mencapai 500 orang.

Mengapa biaya produksi sebuah pertunjukkan tari sangat mahal? Pertama, untuk menampilkan sebuah garapan yang matang diperlukan latihan yang cukup lama. Kedua, bila pertunjukan melibatkan penari dan pemain musik dalam jumlah yang banyak, berarti diperlukan biaya latihan yang cukup besar pula. Makin besar produksinya, makin besar biaya yang diperlukan. Apabila tontonan yang mahal itu dipungut bayaran, tetap tidak akan bisa menutup pengeluaran yang sangat banyak itu.

Oleh karena itu, pagelaran tari Wayang Wong yang besar memerlukan sponsor yang kuat. Untuk itu, diharapkan adanya seseorang maecenas atau pelindung seni yang selain cinta pada seni itu yang rela mengeluarkan uangnya untuk kelangsungan hidup seni yang dicintainya itu. Sultan Hamengku Buwana I, VII, dan VIII adalah tokoh-tokoh yang cocok sekali mendapat predikat maecenas.

Pagelaran-pagelaran Wayang Wong yang megah itu mempuanyai tujuan bermacam-macam. Ada yang digunakan sebagai penyajian estetis yang dinikmati oleh Sultan beserta tamu-tamu undangan, ada pula yang digunakan untuk merayakan hari ulang tahun Sultan.

Di samping itu, ada yang dimaksudkan untuk menyambut peristiwa-peristiwa penting dari pemerintah kerajaan belanda. Misalnya, pertunjukan pada 1937 digunakan untuk merayakan perkawinan Ratu Juliana dengan Pangeran Bernhard Van Lippe-Biesterfeld. Selain itu, pagelaran pada 1938 dimaksudkan untuk menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) dan Nyonya Tjarda van Starkenborgh Slachouwer-Marburg, isterinya di Keraton Yogyakarta. Pagelaran terakhir pada 1939 dimaksudkan untuk merayakan kelahiran puteri kerajaan Belanda Irene Emma Elisabeth.

Tujuan pementasan Wayang dipertunjukan bukan hanya sebagai tontonan biasa di kalangan keraton. Tetapi, ada faktor-faktor kuat lainnya yang melatarbelakangi. Kebudayaan Wayang bagi para bangsawan Jawa merupakan kebudayaan yang penuh dengan filasfat dan pendidikan. Segi filsafat hidup dan pendidikan inilah kiranya yang menyebabkan para Sultan mengarahkan para putera dan kerabatnya untuk memahami karakter ksatria-ksatria dalam pewayangan.

Yang berbakat akan ditunjuk memegang peranan penting dalam pegelaran Wayang Wong. Putera-putera dan kerabat Sultan Hamengku Buwana VIII, antara lain Pangeran Pajakusuma, putera Sultan, ditunjuk sebagai penari Abimanyu; Pangeran Suryabrongta, putera Sultan, dipercaya memerankan Gatutkaca; Pangeran Adisurya, adik sultan, banyak membawakan peran Bima atau Werkudara; Kanjeng Condradininggrat, menantu Sultan, juga memegang peranan Gatutkaca; Kanjeng Jayawinata, menantu Sultan, membawakan peranan Antareja; dan Kanjeng Brongtadiningrat, ipar Sultan, banyak membawakan Peranan Arjuna.

Tokoh Arjuna adalah pahlawan terbesar dari cerita kepahlawanan Mahabrata yang kemudian dianggap sebagai ksatria ideal bagi orang Jawa. Sedangkan Gatutkaca, kemenakan Arjuna adalah pahlawan sejati dan pembela negara, yang dalam cerita Mahabrata bertekad mengorbankan jiwanya menjadi mangsa panah sakti Adipati. Gatutkaca melakukan itu agar Pandawa bisa memenangkan perang saudara yang dikenal sebagai Baratayuda yang sangat dahsyat.

Putera-putera Sultan Hamengku Buwana VIII lainnya, meski pun tidak sampai dipercaya untuk memegang peranan-peranan yang sangat berat, pasti diwajibkan pula untuk belajar menari dan menambil bagian dalam pertunjukkan Wayang Wong.

Di dalam Wayang Wong, meskipun menampilkan peranan puteri, tetapi selalu ditarikan oleh penari laki-laki. Hal itu dilandasi oleh tata cara hidup dan etika feodal yang tidak membenarkan adanya pergaulan dekat antara pria dan perempuan, etika feodal yang melekat di kehidupan ningrat saat itu. Wayang Wong adalah salah satu miniatur kehidupan ningrat yang selalu dipertunjukan di dalam Istana. Meski pun rakyat biasa diperkenankan menikmati pertunjukkan yang sangat khas ningrat itu.

Referensi
1. Darmoko, WAYANG DAN NEGARA: Sebuah Tinjauan Simbolik Ideologi-Politik, Universitas Indonesia.
2. D. N. Aidit, Manifesto Kebudayaan Kaum Marxis. Freedom Press, Yogyakarta 2007.
3. Dra. Yudiaryani, M. A., Pemanfaatan Tradisi Lisan Di Dalam Pertunjukkan Teater Indonesia.
4. Ir. Sri Mulyono, Wayang, Asal Usul Filsafat dan Masa Depannya, Gunung Agung, Jakarta.
5. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto Teori-teori Kebudayaan. Penerbit KANISIUS, Yogyakarta.
6. Purwadi, Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Seni Pewayangan, Kejawen; Jurnal Kebudayaan Jawa, Narasi Yogyakarta.
7. R.M. Soedarsono, Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta, Tarawang PRESS, Yogyakarta.
8. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Kebudayaan dan Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1982.
9. Budi, Suwono, Dunia Pewayangan dan Kekuasaan Orde Baru, diakses melalui www.apakabar@clark.net.

----------------
(1) Macapat, yakni puisi tembang Jawa dengan pola-pola metrum tertentu; terikat oleh banyaknya baris dalam satu bait, banyaknya suku kata dalam setiap baris, dan jatuhnya bunyi pada akhir baris. Metrum tembang-tembang ini berjumlah sebelas, yakni: dhandhanggula, sinom, pangkur, durma, asmarandana, kinanthi, megatruh, gambuh, mijil, pocung, dan maskumambang.

(2) Sorrel mengajar sejarah tari dan teater serta literatur drama pada universitas colombia. Ia banyak menulis kritik tari dan teater pada majalah - majalah ilmiah di Amerika dan Eropa, dan juga seorang editor dari majalah tari di Amerika yang terkenal yaitu Dance Magazine.


* Penulis adalah anggota Divisi Fotografi Bingkai Merah.



Komentar :

ada 0 komentar ke “Wayang dan Identitas Sosial Masyarakat Jawa”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id